MAKALAH INDIVIDU
KEKERASAN TERHADAP PESERTA DIDIK
Disusun untuk melengkapi tugas mata
kuliah Etika dan Profesi Kependidikan
Dosen Pengampu: Drs. Panji Agus
Triharso, M. Pd.
Disusun Oleh:
Mentari Nur Hanifah
40213161
PGSD 4 Semester 4
SEKOLAH TINGGI ILMU KEGURUAN DAN PENDIDIKAN
STKIP
ISLAM BUMIAYU
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, sering terjadi kekerasan dalam dunia pendidikan yang sudah
menjadi sorotan masyarakat. Berbagai bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan verbal
seperti membentak siswa sampai dengan kekerasan fisik yakni menampar sampai
memukul siswa telah menjadi fenomena di dunia pendidikan negeri ini. Kondisi
tersebut sudah berlangsung lama, bahkan frekuensinya meningkat seiring dengan
meningkatknya agresifitas siswa didik di lingkungan sekolah. Tindakan
kekerasan dalam dunia pendidikan sering dikenal dengan istilah Bullying.
Tindakan kekerasan sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari yang terjadi
dalam ruang lingkup masyarakat, keluarga maupun sekolah. Dalam menyelesaikan
suatu konflik atau permasalahan selalu disertai dengan tindakan kekerasan.
Secara umum, tindakan kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang
dapat merugikan orang lain, baik secara fisik maupun secara psikis. Kekerasan
tidak hanya berbentuk eksploitasi fisik semata, tetapi juga berbentuk
eksploitasi psikis. Dan justru kekerasan psikislah yang perlu diwaspadai karena
akan menimbulkan efek traumatis yang cukup lama bagi si korban. kekerasan dalam pendidikan ini dapat dilakukan
oleh siapa saja, misalnya teman sekelas, kakak kelas dengan adik kelas, guru
dengan muridnya dan pemimpin sekolah dengan staffnya. Tindakan kekerasan
tersebut sama sekali tidak bisa dibenarkan meskipun terdapat beberapa alasan
tertentu yang melatarabelakanginya. Tindakan kekerasan juga bisa terjadi dalam
bentuk aksi demonstrasi mahasiswa, baik dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk
lisan. Misalnya, mencaci maki, berkata kasar dan kotor, serta tawuran yang
terjadi antar mahasiswa.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini, masalah yang akan dipecahkan adalah:
1.
Bagamaina paparan
kekerasan apabila ditinjau dari berbagai landasan pendidikan Indonesia?
2.
Mengapa terjadi
kekerasan dalam dunia pendidikan? Dan Apa dampak dari kekerasan dalam dunia pendidikan?
3.
Bagaimana solusi
mengatasi kekerasan dalam dunia pendidikan?
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan Penulis adalah :
1.
Untuk mengetahui alasan terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan.
2.
Untuk mengetahui alasan dan dampak terjadinya kekerasan dalam dunia
pendidikan.
3.
Untuk mengetahui solusi mengatasi kekerasan yang terjadi dalam dunia
pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Paparan Kekerasan Ditinjau dari Berbagai Landasan Pendidikan Indonesia
A.
Tinjauan dari Landasan Psikologi Pendidikan
Kekerasan yang dilakukan dalam dunia pendidikan
disebut corporal punishment, yaitu adalah tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh orang tertentu pada orang lain atas nama pendisiplinan anak
dengan menggunakan hukuman fisik, meskipun sebenarnya hukuman/kekerasan fisik
tersebut tidak diperlukan (W.W. Charters, 197). Namun pada dasarnya, tindakan kekerasan atau
bullying dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik dan psikis. Kekarasan fisik
dapat diidentifikasi berupa tindakan pemukulan (menggunakan tangan atau alat),
penamparan dan tendangan. Selain itu, kekerasan fisik terhadap anak juga
bisa berbentuk seksual (pelecehan seksual, pencabulan, pemerkosaan dst). Adapun kekerasan psikis antara lain berupa
tindakan mengejek atau menghina, mengintimidasi, menunjukan sikap atau ekspresi
tidak senang, dan tindakan atau ucapan yang melukai perasaan orang lain Dalam
dunia pendidikan dikenal adanya sistem pemberianreward (hadiah)
dan punishment (hukuman).
Yang mana reward dan punishment tersebut pada umumnya
dikorelasikan dan dianggap berasal dari pembahasan reinforcement (dorongan,
dukungan, motivasi), yang diperkenalkan oleh Thorndike (1898-1901). Dorongan
atau motivasi tersebut ditujukan untuk memperkuat sikap/tingkah laku individu.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa apabilareinforcement ini
ditiadakan, maka sebagai akibatnya perbuatan individu tersebut akan melemah. Dalam
teori umum manajemen yang juga diadopsi dalam manajemen pendidikan, berkenaan
dengan reward dan punishment ini, dikenal adanya teori X dan teori Y yang
dikemukakan oleh Mc. Gregor. Teori X dianggap sebagai teori “konvensional” yang
mengasumsikan bahwa pada dasarnya manusia itu pemalas. Oleh karena itu mereka
harus selalu diawasi serta dimotivasi oleh rasa takut akan menerima hukuman dan
bahwa mereka mencoba sebanyak mungkin untuk menghindar dari rasa tanggung jawab
(responsibility). Sebaliknya, teori Y yang dikenal sebagai pendekatan perilaku
(attitude approach) mengatakan bahwa usaha fisik dan mental adalah sama
alamiahnya dalam kerangka pekerjaan, bermain ataupun istirahat. Oleh sebab itu,
ancaman hukuman menurut teori ini bukan merupakan sarana yang baik dan tepat
untuk membujuk seseorang menjadi rajin. Komitmen terhadap tujuan sudah
merupakan penghargaan tersendiri dan bahwa rata-rata manusia belajar untuk mencari
tanggung jawab dan bukan untuk menghindarinya. Berkenaan dengan hal ini,
menurut kaca mata Islam, konsep pemberian hadiah dan pemberian hukuman juga
bukan merupakan terma yang asing lagi. Alquran al-Karim sendiri banyak memuat
dan menyinggung kedua konsep ini, di antaranya dalam Surat al-Taubah ayat 74,
al-Ruum ayat 10, al-Bayyinah ayat 6 dan 8, al-Baqarah ayat 61-62, al-Ankabut
ayat 53 dan 58, dan Ali Imran ayat 10 dan 21. Seorang pemikir Islam terkemuka,
al-Ghazali, berpendapat bahwa reward sudah sepantasnya diberikan kepada peserta
didik yang berprestasi di depan anak-anak yang lain. Tujuannya adalah agar
anak-anak yang lain menjadi termotivasi untuk berbuat kebaikan yang serupa.
B.
Tinjauan dari Landasan Hukum Pendidikan
Kekerasan dalam
pendidikan sangat bertentangan dengan:
1)
Pasal 3 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
“fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab”.
2)
Pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan
secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan
kemajemukkan bangsa (UU Sisdiknas).
3)
Tentang kekerasan fisik,
pada pasal 80 UU Nomer 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dinyatakan
sebagai berikut:
a)
Setiap orang yang
melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiyayaan
terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6
(enam) bulan dan atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua
juta rupiah).
b)
Dalam hal anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), lika berat, maka pelaku dipidana dengan
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
c)
Dalam hal anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mati maka pelaku dipidana dan atau denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
d)
Pidana ditambah
sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3), apabila yang melakukan penganiyayaan tersebut orang tuanya.
Kemudian yang berkaitan dengan kekerasan seksual,
yaitu:
F Pasal 81
1)
Setiap orang yang
dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
2)
Ketentuan pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang dengan
sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
F Pasal 82
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan
atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak atau melakukan atau membiarkan melakukan
perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah). “(UU Perlindungan Anak). Selanjutnya secara khusus,
undang- undang ini bahkan mengamanatkan bahwa siswa wajib dilindungi dari
tindak kekerasan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk guru di sekolah.
F Pasal 54
“Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib
dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelolaan
sekolah atau teman- temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga
pendidikan lainnya.”(UU Perlindungan Anak).
2. Faktor Penyebab dan
Dampak Terjadinya Kekerasan dalam Dunia Pendidikan
ΓΌ
Faktor Penyebab
Terjadinya Kekerasan dalam Dunia Pendidikan
Tindak kekerasan tidak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga
pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Namun tidak
bisa ditampik, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan.
Seperti pada akhir 1997, di salah satu SDN Pati, seorang ibu guru kelas IV
menghukum murid-murid yang tidak mengerjakan PR dengan menusukkan paku yang
dipanaskan ke tangan siswa. Sementara di Surabaya, seorang guru olehraga
menghukum lari seorang siswa yang terlambat datang beberapa kali putaran.
Tetapi karena fisiknya lemah, pelajar tersebut tewas. Dalam periode yang yang
tidak berselang lama, seorang guru SD Lubuk Gaung, Bengkalis, Riau, menghukum
muridnya dengan lari keliling lapangan dalam kondisi telanjang bulat. Bulan
Maret 2002 yang lalu, terjadi pula seorang pembina pramuka bertindak asusila
terhadap siswinya saat acara camping. Selain tersebut di atas,
masih banyak lagi kasus kekerasan pendidikan yang melembari wajah pendidikan
kita.
Dari beberapa kasus yang tersebutkan di atas, terdapat beberapa analisa
tentang faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan,
antara lain yaitu:
1. Kekerasan dalam dunia pendidikan
muncul karena adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik.
Jadi, ada pihak yang melanggar dan ada pihak yang memberi sanksi. Bila sanksi
melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka terjadilah
apa yang disebut dengan tindak kekerasan. Tawuran antar pelajar atau mahasiswa
merupakan contoh kekerasan ini. Selain itu, kekerasan dalam pendidikan tidak
selamanya fisik, melainkan bisa berbentuk pelanggaran atas kode etik dan tata
tertib sekolah. Misalnya, siswa mbolos sekolah dan
pergi jalan-jalan ke tempat hiburan.
2. Kekerasan dalam dunia pendidikan juga
bisa dikarenakan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku.
Muatan kurikukum yang hanya mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan
mengabaikan pendidikan afektif menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam
pendidikan.
3. Kekerasan dalam dunia pendidikan
dipengaruhi juga oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang
memang belakangan ini kian vulgar dalam menampilkan aksi-aksi
kekerasan.
4. Kekerasan dalam dunia pendidikan bisa
dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku. Pelaku kekerasan sering
muncul karena Ia mengalami himpitan sosial-ekonomi.
Kekerasan dalam pendidikan tidak semata hanya dilakukan oleh guru kepada
siswanya. Tetapi ada juga dari siswa atau orang tua kepada gurunya, masyarakat
kepada sekolah, kepala sekolah kepada guru, dan antara siswa sendiri. Menurut
Jack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler, istilah kekerasan (violence)
digunakan untuk menggambarkan perilaku yang disertai penggunaan kekuatan kepada
orang lain, baik secara terbuka (overt) maupun tertutup (covert) atau bersifat
menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive).
ΓΌ
Dari definisi di atas,
dapat ditarik beberapa indikator kekerasan:
a.
Kekerasan terbuka
(overt) yakni kekerasan yang dapat dilihat atau diamati secara langsung;
seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, atau yang berkaitan dengan
fisik. Sebagai contoh adalah pada 2011 yang lalu, yaitu kasus pengeroyokan 4
siswa SMKI Yogyakarta (SMK Negeri 1 Kasihan), terhadap temannya Suharyanyo
(17 tahun), siswa kelas tiga SMKI yang dianiaya hingga meninggal karena alasan
dugaan penipuan order mendalang.
b.
Kekerasan
tertutup (covert) yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan
secara langsung; seperti mengancam, intimidasi, atau simbol-simbol lain yang
menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa takut atau tertekan. Ancaman dianggap
sebagai bentuk kekerasan¸ sebab orang hanya mempercayai kebenaran ancaman dan
kemampuan pengancam mewujudkan ancamannya. Misalnya, kasus demonstrasi
mahasiswa menolak SK Rektor UGM Yogyakarta pada April 2006 lalu, tentang Biaya
Operasional Pendidikan atau BOP, kedua belah pihak saling mengancam. Di satu
sisi, pihak UGM akan melakukan sweeping KTP para demonstran,
di pihak lain, mahasiswa mengancam akan melakukan demo besar-besaran.
c.
Kekerasan agresif (offensive)
yakni kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu seperti perampasan,
pencurian, pemerkosaan atau bahkan pembunuhan. Indikator kekerasan ini sudah
masuk prilaku kriminal, di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi
menurut hukum tertentu. Contohnya kasus pembobolan mobil di Universitas
Jember. Kaca mobil Kijang Innova (P 1047 RG) pecah saat diparkir di depan
sebuah rumah kos di Jalan Mastrip II Jember.
d.
Kekerasan defensif (defensive)
yakni kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan, seperti barikade
aparat untuk menahan aksi demo dan lainnya, sengketa tanah antara warga dengan
pihak dari sebuah sekolah, dan lain sebagainya.
·
Dampak Terjadinya
Kekerasan dalam Dunia Pendidikan
Dampak kekerasan dalam dunia pendidikan (baik pendidikan formal maupun non
formal) pada anak dapat membawa dampak negatif secara fisik maupun psikis. Dampak
negatif tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Secara fisik, kekerasan ini mengakibatkan adanya kerusakan tubuh seperti:
luka-luka memar, luka-luka simetris di wajah (di kedua sisi), punggung, pantat,
tungkai, luka lecet, sayatan-sayatan, luka bakar, pembengkakan
jaringan-jaringan lunak, pendarahan dibawah kulit, dehidrasi sebagai akibat kurangnya
cairan, patah tulang, pendarahan otak, pecahnya lambung, usus, hati, pancreas.
Sedangkan pada penganiayaan seksual bisa berakibat kerusakan organ reproduksi
seperti: terjadi luka memar, rasa sakit dan gatal-gatal di daerah kemaluan,
pendarahan dari vagina atau anus, infeksi saluran kencing yang berulang,
keluarnya cairan dari vagina, sulit untuk berjalan dan duduk serta terkena
infeksi penyakit kelamin bahkan bisa terjadi suatu kehamilan.
2.
Secara psikis, anak yang mengalami penganiayaan
sering menunjukkan: penarikan diri, ketakutan atau bertingkah laku agresif,
emosi yang labil, depresi, jati diri yang rendah, kecemasan, adanya gangguan
tidur, phobia, kelak bisa tumbuh menjadi penganiaya, menjadi bersifat keras,
gangguan stress pasca trauma dan terlibat penggunaan zat adiktif, kesulitan
berkomunikasi atau berhubungan dengan teman sebayanya. Mereka akan menutupi
luka-luka yang dideritanya serta tetap bungkam merahasiakan pelakunya karena
ketakutan akan mendapatkan pembalasan dendam. Dari hasil penelitian dikatakan
bahwa penganiayaan pada masa anak menyebabkan anak berpotensi memiliki gangguan
kepribadian ambang sehingga kelak anak juga berpotensi menderita depresi pada
masa dewasanya. Disamping itu timbulnya gejala disaosiasi termasuk amnesia
terhadap ingatan-ingatan yang berkaitan dengan penganiayaannya (Suyanto &
Hariadi, 2002). Selain itu kekerasan yang terjadi pada anak dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak, sehingga kreativitas dan produktivitas
anak menjadi terpasung, yang pada akhirnya mengakibatkan self
development yang optimal pada diri anak tidak tercapai. Lebih jauh,
jika kekerasan tersebut terjadi di sekolah maka anak akan menaruh kebencian
terhadap sekolah dan jika kekerasan tersebut terjadi dalam keluarga maka anak
akan tidak betah dirumah.
Dampak lain yang timbul dari efek bullying ini adalh menjadi pendiam atau
penyendiri, minder dan canggung dalam bergaul, tidak mau sekolah, stres atau
tegang, sehingga tidak konsentrasi dalam belajar, dan dalam beberapa kasus yang
lebih parah dan dapat mengakibatkan bunuh diri.
3. Solusi Mengatasi Kekerasan dalam Dunia
Pendidikan
Sekecil apapun dampak yang timbul terhadap praktek kekerasan dalam dunia
pendidikan, tetap saja hal itu adalah suatu kesalahan. Sekolah sepatutnya
tempat bagi siswa untuk berkembang. Namun, di saat kekerasan terjadi di
sekolah, sekolah justru mematikan perkembangan psikologi siswa.
Ada bayak hal yang harus kita perhatikan tanpa harus
menggunakan kekerasan :
1. Tindakan Alternatif
Cara pendidikan tanpa kekerasan
digambarkan sebagai sebuah cara ketiga atau alternatif ketiga, setelah tindakan
menyalahkan dan aksi kekerasan karena hal itu. Seorang pendidik yang melihat
kesalahn seorang siswa, mempunyai tiga pilihan setelah itu, apakah dia akan
menyalahkannya, menggunakan kekerasan untuk memaksa siswa memperbaiki kesalahan
itu atau menggunakan cara ketiga yang tanpa kekerasan. Menahan diri untuk tidak
menyalahkan tentu bukan perkara mudah bagi orang dewasa apabila melihat sebuah
kesalahan dilakukan oleh anak di depan matanya. Tapi perlu diingat bahwa sebuah
tudingan bagaimana akan berbuah balasan dari anak, karena secara insting dia
akan mempertahankan dirinya. Reaksi atas sikap anak yang membela diri inilah
yang ditakutkan akan berbuah kekerasan dari pendidik terhadap anak didik.
2. Keakraban Penuh
Keterbukaan
Keakraban maksudnya berbagi dengan orang
lain dengan tidak membeda- bedakan anak- anak didik, dan terbuka adalah tidak
menutup- nutupi hal apa pun atau mencoba mengambil keuntungan dari hal- hal
yang tidak diketahui siswa. Sebuah keakraban yang penuh keterbukaan hanya
terjalin apabila adalah rasa persaudaraan kemanusiaan antara pihak pendidik dan
siswa. Di dalam keakraban ada kasih sayang, sopan santun, saling mengharagai
dan menghormati. Sedang keterbukaan mengandung unsur kejujuran, kerelaan dan
menerima apa adanya. Sedang keterbukaan mengandung unsur kejujuran, kerelaan
dan menerima apa adanya. Keakraban yang terbuka ini ibarat pintu bagi masuknya
sebuah kepercayaan. Ketika anak didik sudah merasakan keakraban yang terbuka
dari gurunya, maka dia akan mendengarkan apa pun yang disampaikan oleh sang
guru.
3. Komunikasi Yang Jujur
Penipuan adalah sesuatu yang sulit dipisahkan dari
kekerasan, disebabkan kurangnya rasa hormat kepada orang lain atau takut
terhadap kenyataan. Tindakan dengan kasih sayang didasarkan pada
ukurannya dalam kebenarannya setiap orang, yang tidak bisa memisahkan dirinya
dari kebenaran dan kenyataan. Jadi, untuk menjadi benar kepada diri sendiri, kita
juga harus benar terhadap orang lain. Sampaikan kepada anak didik
kebenarannya; arahkan kemarahan kita terhadap kesalahannya, bukan kepada
orangnya. Temukan solusi dalam konflik dan kesalahpahaman, dan itu tidak
bisa dibangun apabila kita menggunakan kebohongan dan penipuan.
4. Hormati Kebebasan dan Persamaan
Di dalam pendidikan tanpa kekerasan ini, kita semuanya
bebas dan setara, setiap orang mendengarkan suara nurani sendiri dan saling
berbagi perhatian. Lalu kemudian dengan bebas diputuskan, berdasarkan
pada semua pertimbangan individu-individu, bagaimana keinginan bersama ingin diwujudkan.
Dengan demikian kita harus mengenali dengan jelas kebebasan memilih dan
hak yang sama setiap orang untuk mengambil bagian dalam kegiatan itu. Yang lebih
penting lagi adalah kita menyadari persamaan semua manusia menghormati
kebebasan anak didik sama seperti kita menghendaki kebebasan kita sendiri
dihormati. Tindakan tanpa kekerasan bukanlah bentuk usaha untuk
mengendalikan yang lain atau penggunaan paksaan terhadap mereka. Jika
kita mencintai anak didik, kita menghormati otonomi mereka untuk membuat keputusan-keputusan
mereka sendiri. Kita pasti dapat berkomunikasi dengan mereka, dan kita bahkan
dapat menghadapi mereka dengan kehadiran kita untuk memaksa mereka tanpa
kekerasan untuk membuat sebuah pilihan, jika kita yakin mereka telah melakukan
kesalahan. Perbedaan yang penting adalah kita tidak memaksa mereka secara
fisik atau dengan kasar untuk mencapai apa yang kita inginkan.
5. Rasa Kasih yang Berani
Bertentangan dengan kepercayaan umum, pendidikan tanpa
kekerasan bukan sebuah metoda pasif dan lemah, dan itu pasti bukan untuk para
penakut. Tindakan tanpa kekerasan lebih banyak membutuhkan keberanian dibanding
perkelahian dengan kekerasan seperti dalam peperangan, meski tampaknya itu
semacam keberanian. Karena jika kita melihat lebih jauh penggunaan senjata
merupakan kompensasi dari rasa takut terhadap lawan. Dan tindakan
kekerasan merupakan bukti adanya perasaan takut lawan lebih dulu melakukannya
terhadap kita. Jadi melakukan tindakan tanpa kekerasan menunjukkan
ketinggian martabat yang penuh keberanian. Rasa kasihan adalah anugerah kepada hati kita.
Rasa kasihan bisa digambarkan sebagai kasih yang tidak hanya berempati
terhadap orang lain di dalam merasakan apa yang mereka alami, tetapi juga
mempunyai keberanian dan kebijaksanaan untuk melakukan sesuatu terhadap hal
itu. Di dalam rasa kasihan, kita tidak melampiaskan kemarahan dan rasa
benci kepada anak didik yang melakukan kesalahan, namun dengan kemurahan hati
dan kepedulian, kita memperbaikinya. Rasa kasihan datang dari rasa
kesatuan dengan orang lain, memperluas hati kita sehingga kita bisa merasakan
empati atas penderitaan orang lain dan menolong mereka.
6. Saling Mempercayai
Secara Penuh
Cara dengan kasih sayang didasarkan pada keyakinan
bahwa jika kita bertindak dengan cara yang baik tidak akan pernah merugikan
bagi siapapun, dan akan menghasilkan kebaikan juga. Alih-alih
mengendalikan anak didik dengan ancaman dan kekuasaan kita, lebih baik
menggunakan kecerdasan masing-masing pihak untuk memecahkan masalah dengan
komunikasi yang baik dan negosiasi.
Untuk mempercayai anak didik secara penuh kita harus
melepaskan kepercayaan itu dari kendali kita sendiri, dan membiarkan situasi
memprosesnya. Tentu saja melepaskan kepercayaan tidak berarti kita
mempercayai dengan membabi buta. Kita harus tetap memonitor apa yang
terjadi dan memantau hasilnya secara terus menerus.
7. Ketekunan dan
Kesabaran
Dalam pendidikan tanpa kekerasan, kesabaran adalah
kebaikan yang bersifat revolusioner. Kesabaran bukanlah sebuah pembiaran
tanpa tindakan apa pun, tetapi peningkatan kualitas dari sebuah pertolongan
yang bertahan pada tuntutannya, dan melanjutkannya dengan cara cerdas penuh
ketenangan. Ketika kita terperangkap dalam situasi konflik, emosi kita
sering sangat aktif dan bergolak. Kita harus hati-hati dengan reaksi
tanpa pemikiran atas apa yang sedang kita lakukan dan konsekuensi-konsekuensi
yang mungkin terjadi. Kesabaran memberikan kepada kita waktu untuk
berpikir tentang tindakan-tindakan kita agar terhindar dari kekerasan dan
bertindak efektif. Lebih baik menunggu dan kehilangan sebuah peluang
kecil dibandingkan terburu-buru namun menemui sesuatu yang bodoh dan tidak
dipersiapkan. Peluang baru pasti akan muncul kemudian, jika kita berusaha
memecahkan persoalan, karena di lain waktu kita akan siap untuk bertindak
dengan cara yang baik. Tidak seperti cara militer yang cepat dan kasar,
pendidikan tanpa kekerasan bersifat melambat dan dimulai dengan
peringatan-peringatan untuk memberikan kesempatan kepada anak didik secara
sadar berpikir bagaimana seharusnya. Kita tidak menghendaki anak didik
bereaksi dengan cepat secara insting. Kita menghendaki anak didik
mengetahui metoda-metoda kita sehingga mereka dapat menanggapi sama tenang dan
cerdasnya. Ketekunan juga berarti kita harus fleksibel di dalam
strategi dan taktik kita. Jika metodanya tidak berhasil, kita perlu
mencoba cara lain. Jika jalannya mendapatkan halangan, kita dapat beralih
ke hal lain yang juga memerlukan perhatian. Jika anak didik seperti
kehilangan minatnya, kita dapat dengan kreatif mencoba pendekatan baru terhadap
permasalahan. Pendidikan tanpa kekerasan harus dipenuhi kesabaran
dan memaafkan dan di saat yang sama gigih dalam membantu. Ketika anak
didik mengakui bahwa mereka sudah melakukan kesalahan, kita harus menunjukkan
sifat pemaaf kepada mereka. Sasaran terakhir dari pendidikan tanpa
kekerasan bukanlah kemenangan atas anak-anak didik kita tetapi menemukan sebuah
kehidupan yang harmonis antara pendidik sebagai orang tua, bersama-sama dengan
anak didik dalam damai dan keadilan.
BAB III
PENUTUPAN
Kesimpulan
Kekerasan dan pelecehan yang terjadi dalam dunia
pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini, bukanlah sesuatu yang muncul dengan
tiba-tiba. Namun, semua itu telah tertanam kuat sejak dulu sebelum kemudian
akhirnya meledak. Kekerasan atau bullying dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik dan psikis. Proses pemberian punishment (hukuman)
yang lebih menekankan pada hukuman fisik dan psikis yang cenderung mencederai
tubuh dan jiwa peserta didik dalam proses pendisiplinan diri, sama sekali tidak
dibenarkan dalam Islam. Sebab Rasulullah saw. sebagai sosok teladan seluruh
umat manusia di bumi-Nya ini telah memberikan bukti-bukti nyata; Bagaimana cara
mendidik anak yang baik dan benar, yaitu diiringi dengan pendekatan kasih sayang,
keuletan serta kesabaran, dan bukan dengan cara kekerasan.
Namun demikian, tentu saja hal ini tidak dapat kemudian dimaknai dengan
memanjakan si anak. Pemberian reward yang tidak pada tempatnya atau berlebihan
(apalagi kalau selalu berbentuk material), justru akan menimbulkan kesan yang
negatif pada diri si anak. Karena hal ini secara langsung akan menggiring
mereka untuk berprinsip tidak akan berbuat baik bila tidak diberikan hadiah. Di
sinilah para pendidik (guru, dosen, ustadz, dan lain-lain) dituntut untuk
memahami jiwa peserta didik. Yang perlu dicatat adalah bahwa tugas dan
kewajiban mereka bukan hanya sebagai penyampai dan pemberi ilmu pengetahuan
kepada peserta didik, akan tetapi juga sekaligus counsellor (pembimbing)
dan suri teladan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Alifuddin, MM. 2012. Reformasi Pendidikan (Strategi Inovatif
Peningkatan Mutu Pendidikan. Jakarta: MAGNAScript Publishing.
Marno. 2008. Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam.
Malang: Refika Aditama.
Miftah, Zainul. 2011. Implementasi Pendidikan Karakter Melalui
Bimbingan & Konseling. Surabaya: Gena Pratama Pustaka.
Rohani, Ahmad, HM. 2004. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta:
Rineka Cipta. UUD 1945 Ne gara Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar